Jumat, 13 September 2013

Apa kabar, Bang Tommy?



Bahkan kini saat saya membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan.


Sesuai pengantar dalam blog ini saya katakan bahwa tulisan di sini sebagian adalah hasil kerja paksa. Demikian karena saya dan beberapa teman berkomitmen untuk harus menghasilkan dua tulisan per bulan dengan periode waktu yang telah ditentukan. Yang melanggar perjanjian, akan dikenakan denda Rp. 100.000. Tentu saya pribadi menyambut tantangan ini dengan gembira. Meski sadar betul keterbatasan saya dalam menulis, tapi saya justru senang jika tulisan-tulisan ini nantinya akan “dibantai” oleh teman-teman.

Dua minggu bukanlah waktu yang panjang, apalagi untuk seseorang yang memiliki 2 profesi sekaligus seperti saya. Dalam seminggu, harus adil membagi rata waktu untuk mengurusi persiapan pernikahan klien dan di sisi lain melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan pemantauan isi tayangan di televisi kita. Baik, saya tidak akan mengeluh, karena saya mencintai pekerjaan-pekerjaan saya. Hanya saja – tetap, ini bukan mengeluh—karena kesulitan waktu itulah, boro-boro menulis, memikirkan idenya saja susah setengah mati. Seorang teman penggagas ide untuk menulis, Roy, mengatakan untuk menuliskan apa saja. Tentu, apa saja, untuk orang yang sudah terbiasa menulis rasanya mudah. Tapi untuk saya, apa saja terasa seperti nyerah saja.  

Saat termenung memikirkan ide tulisan inilah, tiba-tiba saya teringat seorang supir bajaj yang beberapa kali menjadi penolong saya. Berusia sekitar akhir 30-an, tubuhnya kekar memenuhi bajaj bagian depan yang ia kendarai, wajahnya lonjong berisi, dan topi tidak pernah lepas dari kepala –setidaknya setiap kali saya melihatnya. Bajajnya selalu mangkal di depan kali sebuah gereja yang letaknya persis di sebelah sekolah saya, bersama dengan bajaj-bajaj lain yang mengantar atau menjemput anak-anak sekolah. Tentu, saya punya beberapa langganan abang bajaj semasa sekolah dulu. Namun setelah lulus, saya sudah jarang bertemu apalagi naik bajaj mereka. Tapi dia ini, bang Tommy namanya, spesial!

Sekitar tahun 2008, saya menjadi salah satu asisten dosen di kampus. Suatu hari saya bangun terlambat dari biasanya, dan oleh karena itu, perjalanan yang biasanya saya tempuh dengan 3 kali mengganti kendaraan, harus saya potong menggunakan satu kendaraan saja. Pilihannya: Ojek atau bajaj. Yang mana yang duluan saja lah. Setelah menunggu beberapa saat di jalan raya, akhirnya mendapati  bajaj yang sudah agak usang dan lamban jalannya. Dan ya, sesuai ketakutan yang sempat terbesit di benak saya, mogoklah bajaj usang itu. Aaarrghh, semakin terlambatlah, keluh dalam hati. Bapak tua ini berusaha memperbaiki bajajnya, dan saya tetap menunggu di dalam. Sekitar 5 menit kemudian, ia menyerah dan menurunkan saya. Antara lega dan tak enak hati meninggalkan bapak tua dengan bajaj usangnya itu, tapi maaf pak, saya harus mengejar waktu. Seturun dari bajaj, saya buru-buru mencari posisi di tepi jalan raya untuk mencari bajaj. Dan tak butuh waktu lama, datanglah bang Tommy dan bajajnya yang katanya baru saja mengantar anak sekolah langganannya, dan sedang berkeliling. Tak perlu ba bi bu, saya pun langsung diantar dengan bajaj nya yang masih dalam keadaan tenaga penuh itu. Ini, kejadian pertama.

Masih di tahun yang sama, beberapa bulan setelah kejadian pertama, saya mengalami kecelakaan  di perempatan Jalan Cideng. Saat itu, lampu pengantur lalu lintas tak berfungsi. Bajaj yang saya tumpangi, sedang meluncur dengan kecepatan cukup rendah, saat sebuah mobil Avanza hitam yang melaju dari sisi kanan menabrak bajaj hingga terguling. Tentu, saya ikut terguling di dalamnya. Beruntung (bukankah bagi orang Indonesia selalu ada hal yang harus disyukuri dari setiap peristiwa, bahkan kemalangan?), saya tidak mengalami luka serius, hanya memar pada beberapa bagian, terutama bokong dan paha.
Sopir bajaj juga mengalami cedera yang tidak parah, namun ia butuh waktu menenangkan diri, sehingga tak mungkin untuk melanjutkan mengantar saya. Pun, aneh rasanya jika kembali menumpang di bajaj yang baru saja terguling.
Saya dibantu keluar dari bajaj oleh beberapa orang disana, kemudian dihujani pertanyaan apakah saya baik saja, merasa sakit dimana, dan lain sebagainya. Saat itu, kembali Bang Tommy lewat, dan melihat saya yang menjadi korban, ia langsung mengantarkan saya pulang. Dan ongkos bajaj yang saya bayarkan saat turun, tak diterimanya. Dan untuk kedua kalinya, Bang Tommy seperti tahu bahwa ia dibutuhkan.

Kejadian ketiga saya lupa persisnya kapan, tapi yang pasti kejadiannya malam. Saat itu masih juga menjadi asisten dosen yang kebagian jadwal kelas sampai jam 9 malam. Saya ingat, saat itu baru berhasil masuk ke dalam bus Transjakarta menuju arah Gajah Mada sekitar pukul 21.30 dari halte Karet. Saat tiba di Gajah Mada, sudah sekitar jam 21.50. Mau naik metro mini atau mikrolet tapi was-was, ojek atau bajaj tak ada yang terlihat. Akhirnya saya berjalan kaki dari halte Gajah Mada berbelok ke kiri ke arah jalan Ketapang. Dalam hati berpikir, lebih baik jalan kaki sampai rumah, daripada naik metro mini atau mikrolet. Sekitar 5 menit berjalan, saya mendengar ada bajaj mendekat, ketika menoleh, Bang Tommy lagi. Dan sekali lagi, Bang Tommy berjodoh menjadi penolong saya.

Pengalaman dengan Bang Tommy ini membuat saya berpikir, mungkin benar kata orang-orang, malaikat tak harus bersayap. Itu mungkin kali terakhir kami bertemu, sekitar 4 tahun lalu. Tapi kehadirannya yang tiba-tiba di saat yang kebetulan saya tertimpa kemalangan atau buru-buru, sangat berkesan. Dan mungkin, ini yang dinamakan jodoh. Jodoh kan tidak selalu harus berhubungan dengan romansa?

Ketika kini saya bingung harus menulis tentang apa, dan tidak rela jika harus membayar denda Rp. 100.000 karena tidak memuat tulisan di blog, dia hadir lagi. Yang membuat saya tak habis pikir, bahkan kini saat saya membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan. Bang Tommy, apa kabarmu disana? Semoga kebaikanmu selalu memancar dan berbuah baik untukmu dan keluarga.



-RL-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar