Bahkan kini saat saya
membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan.
Sesuai pengantar dalam blog ini saya katakan bahwa tulisan di sini
sebagian adalah hasil kerja paksa. Demikian karena saya dan beberapa teman
berkomitmen untuk harus menghasilkan dua tulisan per bulan dengan periode waktu
yang telah ditentukan. Yang melanggar perjanjian, akan dikenakan denda Rp.
100.000. Tentu saya pribadi menyambut tantangan ini dengan gembira. Meski sadar
betul keterbatasan saya dalam menulis, tapi saya justru senang jika
tulisan-tulisan ini nantinya akan “dibantai” oleh teman-teman.
Dua minggu bukanlah waktu yang panjang, apalagi untuk seseorang yang
memiliki 2 profesi sekaligus seperti saya. Dalam seminggu, harus adil membagi
rata waktu untuk mengurusi persiapan pernikahan klien dan di sisi lain
melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan pemantauan isi tayangan di televisi
kita. Baik, saya tidak akan mengeluh, karena saya mencintai pekerjaan-pekerjaan
saya. Hanya saja – tetap, ini bukan mengeluh—karena kesulitan waktu itulah, boro-boro menulis, memikirkan idenya
saja susah setengah mati. Seorang teman penggagas ide untuk menulis, Roy,
mengatakan untuk menuliskan apa saja. Tentu, apa saja, untuk orang yang sudah
terbiasa menulis rasanya mudah. Tapi untuk saya, apa saja terasa seperti nyerah saja.
Saat termenung memikirkan ide tulisan inilah, tiba-tiba saya teringat
seorang supir bajaj yang beberapa kali menjadi penolong saya. Berusia sekitar
akhir 30-an, tubuhnya kekar memenuhi bajaj bagian depan yang ia kendarai,
wajahnya lonjong berisi, dan topi tidak pernah lepas dari kepala –setidaknya setiap
kali saya melihatnya. Bajajnya selalu mangkal di depan kali sebuah gereja yang
letaknya persis di sebelah sekolah saya, bersama dengan bajaj-bajaj lain yang
mengantar atau menjemput anak-anak sekolah. Tentu, saya punya beberapa
langganan abang bajaj semasa sekolah dulu. Namun setelah lulus, saya sudah
jarang bertemu apalagi naik bajaj mereka. Tapi dia ini, bang Tommy namanya,
spesial!
Sekitar tahun 2008, saya menjadi salah satu asisten dosen di kampus.
Suatu hari saya bangun terlambat dari biasanya, dan oleh karena itu, perjalanan
yang biasanya saya tempuh dengan 3 kali mengganti kendaraan, harus saya potong
menggunakan satu kendaraan saja. Pilihannya: Ojek atau bajaj. Yang mana yang
duluan saja lah. Setelah menunggu beberapa saat di jalan raya, akhirnya
mendapati bajaj yang sudah agak usang
dan lamban jalannya. Dan ya, sesuai ketakutan yang sempat terbesit di benak
saya, mogoklah bajaj usang itu. Aaarrghh, semakin terlambatlah, keluh dalam
hati. Bapak tua ini berusaha memperbaiki bajajnya, dan saya tetap menunggu di
dalam. Sekitar 5 menit kemudian, ia menyerah dan menurunkan saya. Antara lega
dan tak enak hati meninggalkan bapak tua dengan bajaj usangnya itu, tapi maaf
pak, saya harus mengejar waktu. Seturun dari bajaj, saya buru-buru mencari
posisi di tepi jalan raya untuk mencari bajaj. Dan tak butuh waktu lama,
datanglah bang Tommy dan bajajnya yang katanya baru saja mengantar anak sekolah
langganannya, dan sedang berkeliling. Tak perlu ba bi bu, saya pun langsung diantar dengan bajaj nya yang masih
dalam keadaan tenaga penuh itu. Ini, kejadian pertama.
Masih di tahun yang sama, beberapa bulan setelah kejadian pertama,
saya mengalami kecelakaan di perempatan
Jalan Cideng. Saat itu, lampu pengantur lalu lintas tak berfungsi. Bajaj yang saya
tumpangi, sedang meluncur dengan kecepatan cukup rendah, saat sebuah mobil
Avanza hitam yang melaju dari sisi kanan menabrak bajaj hingga terguling.
Tentu, saya ikut terguling di dalamnya. Beruntung (bukankah bagi orang Indonesia
selalu ada hal yang harus disyukuri dari setiap peristiwa, bahkan kemalangan?),
saya tidak mengalami luka serius, hanya memar pada beberapa bagian, terutama
bokong dan paha.
Sopir bajaj juga mengalami cedera yang tidak parah, namun ia butuh
waktu menenangkan diri, sehingga tak mungkin untuk melanjutkan mengantar saya.
Pun, aneh rasanya jika kembali menumpang di bajaj yang baru saja terguling.
Saya dibantu keluar dari bajaj oleh beberapa orang disana, kemudian
dihujani pertanyaan apakah saya baik saja, merasa sakit dimana, dan lain
sebagainya. Saat itu, kembali Bang Tommy lewat, dan melihat saya yang menjadi
korban, ia langsung mengantarkan saya pulang. Dan ongkos bajaj yang saya
bayarkan saat turun, tak diterimanya. Dan untuk kedua kalinya, Bang Tommy seperti
tahu bahwa ia dibutuhkan.
Kejadian ketiga saya lupa persisnya kapan, tapi yang pasti kejadiannya
malam. Saat itu masih juga menjadi asisten dosen yang kebagian jadwal kelas
sampai jam 9 malam. Saya ingat, saat itu baru berhasil masuk ke dalam bus Transjakarta
menuju arah Gajah Mada sekitar pukul 21.30 dari halte Karet. Saat tiba di Gajah
Mada, sudah sekitar jam 21.50. Mau naik metro mini atau mikrolet tapi was-was,
ojek atau bajaj tak ada yang terlihat. Akhirnya saya berjalan kaki dari halte
Gajah Mada berbelok ke kiri ke arah jalan Ketapang. Dalam hati berpikir, lebih
baik jalan kaki sampai rumah, daripada naik metro mini atau mikrolet. Sekitar 5
menit berjalan, saya mendengar ada bajaj mendekat, ketika menoleh, Bang Tommy
lagi. Dan sekali lagi, Bang Tommy berjodoh menjadi penolong saya.
Pengalaman dengan Bang Tommy ini membuat saya berpikir, mungkin benar
kata orang-orang, malaikat tak harus bersayap. Itu mungkin kali terakhir kami
bertemu, sekitar 4 tahun lalu. Tapi kehadirannya yang tiba-tiba di saat yang
kebetulan saya tertimpa kemalangan atau buru-buru, sangat berkesan. Dan
mungkin, ini yang dinamakan jodoh. Jodoh kan tidak selalu harus berhubungan
dengan romansa?
Ketika kini saya bingung harus menulis tentang apa, dan tidak rela
jika harus membayar denda Rp. 100.000 karena tidak memuat tulisan di blog, dia
hadir lagi. Yang membuat saya tak habis pikir, bahkan kini saat saya
membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan. Bang Tommy,
apa kabarmu disana? Semoga kebaikanmu selalu memancar dan berbuah baik untukmu
dan keluarga.
-RL-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar