Siapa yang mengira, kebahagiaan bisa muncul dari sebuah topi. Iya, topi. Lebih tepatnya, sebuah topi yang tercecer di jalanan.
Menyetir sendiri menuju kantor
dengan keadaan kepala setengah membaik dari migrain, bukanlah hal yang
menyenangkan untuk dijalani. Apalagi di dalam pikiran saya, sudah terbayang
titik-titik jalan yang hampir selalu sesak dengan kendaraan, jika dilewati
siang hari begini. Sebut saja, di sekitar Penjaringan, Pasar Ikan, Stasiun
Kota, bahkan hingga jalan Hayam Wuruk. Itulah rute perjalanan yang harus
dilewati dari rumah sebelum tiba di kantor yang berada di sekitar Pasar Baru,
Jakarta Pusat. Bayangan terburuk atas kemacetan ini adalah di sekitar Stasiun
Kota, yang saya sebut sebagai hutan rimba tanpa jalan setapak. Seluruh
kendaraan yang melewatinya, baik roda empat maupun roda dua, berhimpit-himpitan
sampai tak terlihat lagi celah jalanan yang dapat dilewati. Semua saling
berebut untuk menempati ruang kosong yang walau hanya berjarak kurang satu
meter dari kendaraan di depannya. Tidak boleh lengah. Jangan sampai disalip
kendaraan lain. Berlebihan? Ah, saya juga berharap memang saya yang berlebihan.
Dengan kondisi itulah, saya pun memulai
perjalanan. Sekitar sepuluh menit dari waktu berangkat, saya masih berada di
sekitar Pluit juga, dan tepat di depan Rumah Duka Holy –sebelumnya Rumah Duka
Atma Jaya—tertidurlah si topi krem itu di jalanan. Saya dapat melihat jelas,
topi itu berjenis lembek karena memang tak ada rangka keras di sisi manapun, hanya
sedikit menebal di seputar pinggiran luarnya. Topi semacam ini biasa disebut Topi
Rimba.
Seorang pengendara motor berjaket
hitam dengan tinggi badan yang saya perkirakan 175cm, menurunkan kaki untuk
menahan motornya yang melambat, tepat di samping topi itu. Dan seperti tahu ada
kesempatan menumpang, si topi itu pun mampir ke kaki pengendara yang dibalut
sepatu boot hitam yang masih mengkilap. Tak perlu menunggu lama, pengendara itu
langsung menghempaskan kakinya, begitu menyadari keberadaan topi yang ikut
menempel padanya. Memastikan topi itu sudah lepas, ia pun segera menancap gas
dan mendahului truk pengangkut sampah yang berjarak dua puluh meter di
depannya.
Sepeninggal pengendara berjaket
hitam itu, muncul lagi pengendara motor berjaket putih yang sudah menguning
lusuh. Ia berada di depan saya, dan oleh karenanya, tak dapat terlihat
wajahnya. Namun saya bayangkan, ia seorang pria berusia separuh baya, berkumis
dan murah senyum. Mungkin. Berbeda dengan yang sebelumnya, pria ini jutru
sengaja menghampiri si topi. Dengan satu kaki, ia angkut topi krem itu, dan
satu kaki lainnya sambil menginjak gas.
Melewati truk pengangkut sampah di
depannya, ia panggil seorang petugas terdekat, lalu dengan kakinya pula
dilempar topi itu. Mungkinkah topi itu memang milik si petugas kebersihan? Atau
mungkin si pengendara berjaket putih lusuh itu berpikir panjang, daripada
terlindas sia-sia, si topi ini akan berguna untuk orang lain, dan ia sendiri menjadi
jembatan penyalurnya. Si pengendara jaket putih bisa saja menganggap topi itu
tak ada, lalu tanpa ada rasa apapun meninggalkannya, seperti yang dilakukan
oleh orang lain. Tak perlu repot-repot. Tapi ia melakukan sebaliknya.
Saat melewati petugas yang
menerima topi, saya bisa melihat senyum lebar di wajahnya sambil mengucapkan
terima kasih kepada si pengendara itu. Dan entah mengapa, mengingat senyum
petugas itu dan membayangkan senyum si pengendara yang tak pernah saya lihat
wajahnya itu, membuat saya senyum-senyum sendiri juga.
Senang rasanya
mengetahui bahwa di jalanan Jakarta yang terkenal kerasnya ini, masih ada
orang-orang yang peduli dan mau berbagi. Mengalahkan ego bukanlah sesuatu yang
mudah. Tapi hari ini, dari topi dan pengendara motor berjaket putih itu, saya
memaknai hal kecil yang memberi dampak besar. Dan saya masuk sebagai bagian
yang terkena dampak itu. Migrain? Ah, sudah tak terasa tuh.