Selasa, 27 Agustus 2013

Topi Rimba ingin Rumah


Siapa yang mengira, kebahagiaan bisa muncul dari sebuah topi. Iya, topi. Lebih tepatnya, sebuah topi yang tercecer di jalanan.


Menyetir sendiri menuju kantor dengan keadaan kepala setengah membaik dari migrain, bukanlah hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apalagi di dalam pikiran saya, sudah terbayang titik-titik jalan yang hampir selalu sesak dengan kendaraan, jika dilewati siang hari begini. Sebut saja, di sekitar Penjaringan, Pasar Ikan, Stasiun Kota, bahkan hingga jalan Hayam Wuruk. Itulah rute perjalanan yang harus dilewati dari rumah sebelum tiba di kantor yang berada di sekitar Pasar Baru, Jakarta Pusat. Bayangan terburuk atas kemacetan ini adalah di sekitar Stasiun Kota, yang saya sebut sebagai hutan rimba tanpa jalan setapak. Seluruh kendaraan yang melewatinya, baik roda empat maupun roda dua, berhimpit-himpitan sampai tak terlihat lagi celah jalanan yang dapat dilewati. Semua saling berebut untuk menempati ruang kosong yang walau hanya berjarak kurang satu meter dari kendaraan di depannya. Tidak boleh lengah. Jangan sampai disalip kendaraan lain. Berlebihan? Ah, saya juga berharap memang saya yang berlebihan.


Dengan kondisi itulah, saya pun memulai perjalanan. Sekitar sepuluh menit dari waktu berangkat, saya masih berada di sekitar Pluit juga, dan tepat di depan Rumah Duka Holy –sebelumnya Rumah Duka Atma Jaya—tertidurlah si topi krem itu di jalanan. Saya dapat melihat jelas, topi itu berjenis lembek karena memang tak ada rangka keras di sisi manapun, hanya sedikit menebal di seputar pinggiran luarnya. Topi semacam ini biasa disebut Topi Rimba


Seorang pengendara motor berjaket hitam dengan tinggi badan yang saya perkirakan 175cm, menurunkan kaki untuk menahan motornya yang melambat, tepat di samping topi itu. Dan seperti tahu ada kesempatan menumpang, si topi itu pun mampir ke kaki pengendara yang dibalut sepatu boot hitam yang masih mengkilap. Tak perlu menunggu lama, pengendara itu langsung menghempaskan kakinya, begitu menyadari keberadaan topi yang ikut menempel padanya. Memastikan topi itu sudah lepas, ia pun segera menancap gas dan mendahului truk pengangkut sampah yang berjarak dua puluh meter di depannya.


Sepeninggal pengendara berjaket hitam itu, muncul lagi pengendara motor berjaket putih yang sudah menguning lusuh. Ia berada di depan saya, dan oleh karenanya, tak dapat terlihat wajahnya. Namun saya bayangkan, ia seorang pria berusia separuh baya, berkumis dan murah senyum. Mungkin. Berbeda dengan yang sebelumnya, pria ini jutru sengaja menghampiri si topi. Dengan satu kaki, ia angkut topi krem itu, dan satu kaki lainnya sambil menginjak gas. 

Melewati truk pengangkut sampah di depannya, ia panggil seorang petugas terdekat, lalu dengan kakinya pula dilempar topi itu. Mungkinkah topi itu memang milik si petugas kebersihan? Atau mungkin si pengendara berjaket putih lusuh itu berpikir panjang, daripada terlindas sia-sia, si topi ini akan berguna untuk orang lain, dan ia sendiri menjadi jembatan penyalurnya. Si pengendara jaket putih bisa saja menganggap topi itu tak ada, lalu tanpa ada rasa apapun meninggalkannya, seperti yang dilakukan oleh orang lain. Tak perlu repot-repot. Tapi ia melakukan sebaliknya.


Saat melewati petugas yang menerima topi, saya bisa melihat senyum lebar di wajahnya sambil mengucapkan terima kasih kepada si pengendara itu. Dan entah mengapa, mengingat senyum petugas itu dan membayangkan senyum si pengendara yang tak pernah saya lihat wajahnya itu, membuat saya senyum-senyum sendiri juga. 

Senang rasanya mengetahui bahwa di jalanan Jakarta yang terkenal kerasnya ini, masih ada orang-orang yang peduli dan mau berbagi. Mengalahkan ego bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi hari ini, dari topi dan pengendara motor berjaket putih itu, saya memaknai hal kecil yang memberi dampak besar. Dan saya masuk sebagai bagian yang terkena dampak itu. Migrain? Ah, sudah tak terasa tuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar