Senin, 30 September 2013

Serangan Lampu Malam





Saya jahat? Mungkin. Tapi niatnya adalah untuk memberi pelajaran.





Sebagai pengendara di jalan, kita bisa saja ditilang oleh polisi dengan berbagai alasan. Mulai dari yang bisa langsung terlihat seperti tidak memakai helm, nomor plat yang sudah kadaluarsa, tidak memiliki kaca spion kendaraan, dan melanggar rambu-rambu; juga yang tidak terlihat namun secara acak terjaring, seperti SIM atau STNK yang sudah kadaluarsa, mengemudi dalam keadaan mabuk, mengemudi sambil memainkan ponsel dan sebagainya.

Dalam perjalanan saya berangkat beraktivitas, sudah tiga kali dalam dua minggu ini menemukan razia kendaraan roda dua di perpanjangan jalan ekor kuning yang menembus ke arah stasiun kota. Tak terhindarkan, macet pun terjadi menjelang titik razia tersebut. Saya tidak tahu, operasi apa yang sedang dijalankan.

Baik, saya bukan ingin membahas tentang proses razia tersebut. Namun seringnya razia dilakukan pagi hari, membuat saya berpikir, ada satu hal yang juga penting untuk diperhatikan dari sebuah kendaraan bermotor, yang jika lalai diperhatikan oleh pengendara maupun regulator, bisa fatal akibatnya. Lampu kendaraan. Tentu jika razia dilakukan saat hari masih terang, pengecekan atas lampu kendaraan akan sulit, kecuali hanya untuk lampu rem dan lampu penunjuk arah. Saya pribadi sangat berharap, razia dapat dilakukan pada malam hari, dengan juga menambahkan satu alasan pemeriksaan lain, yaitu apakah lampu kendaraan terpasang sesuai dengan yang tercantum pada pasal 23 Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2012 tentang Kendaraan.

Sebagai pengendara yang sering pulang malam, saya hampir selalu menemukan kendaraan-kendaraan yang entah apa tujuannya, memasang lampu kendaraannya selalu dalam posisi menyorot jauh. Beberapa di antaranya yang saya ingat, mengubah warna lampu kendaraannya menjadi putih; dan putih lebih silau sorotan cahayanya dibanding warna kuning. Jika lampu dipasang dengan posisi yang benar, harusnya tidak akan bermasalah. Namun menjadi masalah ketika penggantian lampu mobil dengan pemasangan yang tidak standar, sehingga arah sorotan lampu menjadi lampu jauh terus-menerus, sangat mengganggu pengguna jalan lainnya. Dan ini jelas bikin sewot!

Tentu, sebagai pengendara yang berada di depan kendaraan seperti itu, terpaksa saya harus menyipitkan mata dan menurunkan kaca spion tengah untuk menghindarkan pantulan lampu kendaraan di belakang. Seringkali karena kurang cekatan dalam menghindar, pupil saya terlanjur menerima cahaya terang menusuk itu dan memunculkan bayang-bayang yang membuat saya harus berusaha kembali menyesuaikan pandangan mata saya ke depan. 

Pada beberapa kali kejadian, saya sengaja memelankan laju mobil, membiarkannya lewat, dan setelah saya berada persis di belakangnya, saya tembakkan juga lampu jauh ke arah kendaraan tersebut dalam waktu yang lama, agar merasa terganggu. Saya jahat? Mungkin. Tapi niatnya adalah untuk memberi pelajaran. Tidak mungkin saya menghentikannya dan memberitahukan rasa terganggu saya bukan? Dan disinilah saya kira polisi atau pihak manapun yang mempunyai wewenang atasnya, perlu juga turun tangan dan melakukan pemeriksaan.

Jalan adalah milik semua orang. Dan semua pengguna mempunyai hak--sekaligus kewajiban--untuk menggunakannya secara benar dan bertanggungjawab. Yang tak bisa diabaikan pula, hak setiap pengguna jalan juga dibatasi oleh pengguna jalan lainnya. Saya kira hak pengguna jalan tidak sebatas hanya pada hak diberi jalan saja, tapi hak atas kenyamanan yang mendukung keselamatan perjalanan. Lampu kendaraan yang tidak sesuai standarnya itu, menjadi salah satu contoh pelanggaran hak pengguna jalan lain, karena itu jelas mengganggu pandangan, dan bisa saja membahayakan.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajak seluruh pemilik kendaraan untuk melakukan hal ini. Nyalakanlah lampu kendaraan Anda dengan sorotan lampu malam dekat, berdirilah sekitar sepuluh meter di depannya. Bila lampu tidak mengenai mata Anda, maka terima kasih, Anda membantu menjaga kenyamanan bersama. Namun bila sebaliknya, Anda mungkin mau menebak berapa banyak pengguna jalan yang selama ini terganggu? Dan tentu Anda tahu apa yang sebaiknya dilakukan ‘kan? :)





“Karena setiap hak yang berlebihan adalah penindasan.” (Jejak Langkah, Pramoedya Ananta Toer)



-RL-

Jumat, 13 September 2013

Apa kabar, Bang Tommy?



Bahkan kini saat saya membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan.


Sesuai pengantar dalam blog ini saya katakan bahwa tulisan di sini sebagian adalah hasil kerja paksa. Demikian karena saya dan beberapa teman berkomitmen untuk harus menghasilkan dua tulisan per bulan dengan periode waktu yang telah ditentukan. Yang melanggar perjanjian, akan dikenakan denda Rp. 100.000. Tentu saya pribadi menyambut tantangan ini dengan gembira. Meski sadar betul keterbatasan saya dalam menulis, tapi saya justru senang jika tulisan-tulisan ini nantinya akan “dibantai” oleh teman-teman.

Dua minggu bukanlah waktu yang panjang, apalagi untuk seseorang yang memiliki 2 profesi sekaligus seperti saya. Dalam seminggu, harus adil membagi rata waktu untuk mengurusi persiapan pernikahan klien dan di sisi lain melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan pemantauan isi tayangan di televisi kita. Baik, saya tidak akan mengeluh, karena saya mencintai pekerjaan-pekerjaan saya. Hanya saja – tetap, ini bukan mengeluh—karena kesulitan waktu itulah, boro-boro menulis, memikirkan idenya saja susah setengah mati. Seorang teman penggagas ide untuk menulis, Roy, mengatakan untuk menuliskan apa saja. Tentu, apa saja, untuk orang yang sudah terbiasa menulis rasanya mudah. Tapi untuk saya, apa saja terasa seperti nyerah saja.  

Saat termenung memikirkan ide tulisan inilah, tiba-tiba saya teringat seorang supir bajaj yang beberapa kali menjadi penolong saya. Berusia sekitar akhir 30-an, tubuhnya kekar memenuhi bajaj bagian depan yang ia kendarai, wajahnya lonjong berisi, dan topi tidak pernah lepas dari kepala –setidaknya setiap kali saya melihatnya. Bajajnya selalu mangkal di depan kali sebuah gereja yang letaknya persis di sebelah sekolah saya, bersama dengan bajaj-bajaj lain yang mengantar atau menjemput anak-anak sekolah. Tentu, saya punya beberapa langganan abang bajaj semasa sekolah dulu. Namun setelah lulus, saya sudah jarang bertemu apalagi naik bajaj mereka. Tapi dia ini, bang Tommy namanya, spesial!

Sekitar tahun 2008, saya menjadi salah satu asisten dosen di kampus. Suatu hari saya bangun terlambat dari biasanya, dan oleh karena itu, perjalanan yang biasanya saya tempuh dengan 3 kali mengganti kendaraan, harus saya potong menggunakan satu kendaraan saja. Pilihannya: Ojek atau bajaj. Yang mana yang duluan saja lah. Setelah menunggu beberapa saat di jalan raya, akhirnya mendapati  bajaj yang sudah agak usang dan lamban jalannya. Dan ya, sesuai ketakutan yang sempat terbesit di benak saya, mogoklah bajaj usang itu. Aaarrghh, semakin terlambatlah, keluh dalam hati. Bapak tua ini berusaha memperbaiki bajajnya, dan saya tetap menunggu di dalam. Sekitar 5 menit kemudian, ia menyerah dan menurunkan saya. Antara lega dan tak enak hati meninggalkan bapak tua dengan bajaj usangnya itu, tapi maaf pak, saya harus mengejar waktu. Seturun dari bajaj, saya buru-buru mencari posisi di tepi jalan raya untuk mencari bajaj. Dan tak butuh waktu lama, datanglah bang Tommy dan bajajnya yang katanya baru saja mengantar anak sekolah langganannya, dan sedang berkeliling. Tak perlu ba bi bu, saya pun langsung diantar dengan bajaj nya yang masih dalam keadaan tenaga penuh itu. Ini, kejadian pertama.

Masih di tahun yang sama, beberapa bulan setelah kejadian pertama, saya mengalami kecelakaan  di perempatan Jalan Cideng. Saat itu, lampu pengantur lalu lintas tak berfungsi. Bajaj yang saya tumpangi, sedang meluncur dengan kecepatan cukup rendah, saat sebuah mobil Avanza hitam yang melaju dari sisi kanan menabrak bajaj hingga terguling. Tentu, saya ikut terguling di dalamnya. Beruntung (bukankah bagi orang Indonesia selalu ada hal yang harus disyukuri dari setiap peristiwa, bahkan kemalangan?), saya tidak mengalami luka serius, hanya memar pada beberapa bagian, terutama bokong dan paha.
Sopir bajaj juga mengalami cedera yang tidak parah, namun ia butuh waktu menenangkan diri, sehingga tak mungkin untuk melanjutkan mengantar saya. Pun, aneh rasanya jika kembali menumpang di bajaj yang baru saja terguling.
Saya dibantu keluar dari bajaj oleh beberapa orang disana, kemudian dihujani pertanyaan apakah saya baik saja, merasa sakit dimana, dan lain sebagainya. Saat itu, kembali Bang Tommy lewat, dan melihat saya yang menjadi korban, ia langsung mengantarkan saya pulang. Dan ongkos bajaj yang saya bayarkan saat turun, tak diterimanya. Dan untuk kedua kalinya, Bang Tommy seperti tahu bahwa ia dibutuhkan.

Kejadian ketiga saya lupa persisnya kapan, tapi yang pasti kejadiannya malam. Saat itu masih juga menjadi asisten dosen yang kebagian jadwal kelas sampai jam 9 malam. Saya ingat, saat itu baru berhasil masuk ke dalam bus Transjakarta menuju arah Gajah Mada sekitar pukul 21.30 dari halte Karet. Saat tiba di Gajah Mada, sudah sekitar jam 21.50. Mau naik metro mini atau mikrolet tapi was-was, ojek atau bajaj tak ada yang terlihat. Akhirnya saya berjalan kaki dari halte Gajah Mada berbelok ke kiri ke arah jalan Ketapang. Dalam hati berpikir, lebih baik jalan kaki sampai rumah, daripada naik metro mini atau mikrolet. Sekitar 5 menit berjalan, saya mendengar ada bajaj mendekat, ketika menoleh, Bang Tommy lagi. Dan sekali lagi, Bang Tommy berjodoh menjadi penolong saya.

Pengalaman dengan Bang Tommy ini membuat saya berpikir, mungkin benar kata orang-orang, malaikat tak harus bersayap. Itu mungkin kali terakhir kami bertemu, sekitar 4 tahun lalu. Tapi kehadirannya yang tiba-tiba di saat yang kebetulan saya tertimpa kemalangan atau buru-buru, sangat berkesan. Dan mungkin, ini yang dinamakan jodoh. Jodoh kan tidak selalu harus berhubungan dengan romansa?

Ketika kini saya bingung harus menulis tentang apa, dan tidak rela jika harus membayar denda Rp. 100.000 karena tidak memuat tulisan di blog, dia hadir lagi. Yang membuat saya tak habis pikir, bahkan kini saat saya membutuhkan ide pun, dia dan bajaj nya muncul memberi pertolongan. Bang Tommy, apa kabarmu disana? Semoga kebaikanmu selalu memancar dan berbuah baik untukmu dan keluarga.



-RL-

Selasa, 27 Agustus 2013

Topi Rimba ingin Rumah


Siapa yang mengira, kebahagiaan bisa muncul dari sebuah topi. Iya, topi. Lebih tepatnya, sebuah topi yang tercecer di jalanan.


Menyetir sendiri menuju kantor dengan keadaan kepala setengah membaik dari migrain, bukanlah hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apalagi di dalam pikiran saya, sudah terbayang titik-titik jalan yang hampir selalu sesak dengan kendaraan, jika dilewati siang hari begini. Sebut saja, di sekitar Penjaringan, Pasar Ikan, Stasiun Kota, bahkan hingga jalan Hayam Wuruk. Itulah rute perjalanan yang harus dilewati dari rumah sebelum tiba di kantor yang berada di sekitar Pasar Baru, Jakarta Pusat. Bayangan terburuk atas kemacetan ini adalah di sekitar Stasiun Kota, yang saya sebut sebagai hutan rimba tanpa jalan setapak. Seluruh kendaraan yang melewatinya, baik roda empat maupun roda dua, berhimpit-himpitan sampai tak terlihat lagi celah jalanan yang dapat dilewati. Semua saling berebut untuk menempati ruang kosong yang walau hanya berjarak kurang satu meter dari kendaraan di depannya. Tidak boleh lengah. Jangan sampai disalip kendaraan lain. Berlebihan? Ah, saya juga berharap memang saya yang berlebihan.


Dengan kondisi itulah, saya pun memulai perjalanan. Sekitar sepuluh menit dari waktu berangkat, saya masih berada di sekitar Pluit juga, dan tepat di depan Rumah Duka Holy –sebelumnya Rumah Duka Atma Jaya—tertidurlah si topi krem itu di jalanan. Saya dapat melihat jelas, topi itu berjenis lembek karena memang tak ada rangka keras di sisi manapun, hanya sedikit menebal di seputar pinggiran luarnya. Topi semacam ini biasa disebut Topi Rimba


Seorang pengendara motor berjaket hitam dengan tinggi badan yang saya perkirakan 175cm, menurunkan kaki untuk menahan motornya yang melambat, tepat di samping topi itu. Dan seperti tahu ada kesempatan menumpang, si topi itu pun mampir ke kaki pengendara yang dibalut sepatu boot hitam yang masih mengkilap. Tak perlu menunggu lama, pengendara itu langsung menghempaskan kakinya, begitu menyadari keberadaan topi yang ikut menempel padanya. Memastikan topi itu sudah lepas, ia pun segera menancap gas dan mendahului truk pengangkut sampah yang berjarak dua puluh meter di depannya.


Sepeninggal pengendara berjaket hitam itu, muncul lagi pengendara motor berjaket putih yang sudah menguning lusuh. Ia berada di depan saya, dan oleh karenanya, tak dapat terlihat wajahnya. Namun saya bayangkan, ia seorang pria berusia separuh baya, berkumis dan murah senyum. Mungkin. Berbeda dengan yang sebelumnya, pria ini jutru sengaja menghampiri si topi. Dengan satu kaki, ia angkut topi krem itu, dan satu kaki lainnya sambil menginjak gas. 

Melewati truk pengangkut sampah di depannya, ia panggil seorang petugas terdekat, lalu dengan kakinya pula dilempar topi itu. Mungkinkah topi itu memang milik si petugas kebersihan? Atau mungkin si pengendara berjaket putih lusuh itu berpikir panjang, daripada terlindas sia-sia, si topi ini akan berguna untuk orang lain, dan ia sendiri menjadi jembatan penyalurnya. Si pengendara jaket putih bisa saja menganggap topi itu tak ada, lalu tanpa ada rasa apapun meninggalkannya, seperti yang dilakukan oleh orang lain. Tak perlu repot-repot. Tapi ia melakukan sebaliknya.


Saat melewati petugas yang menerima topi, saya bisa melihat senyum lebar di wajahnya sambil mengucapkan terima kasih kepada si pengendara itu. Dan entah mengapa, mengingat senyum petugas itu dan membayangkan senyum si pengendara yang tak pernah saya lihat wajahnya itu, membuat saya senyum-senyum sendiri juga. 

Senang rasanya mengetahui bahwa di jalanan Jakarta yang terkenal kerasnya ini, masih ada orang-orang yang peduli dan mau berbagi. Mengalahkan ego bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi hari ini, dari topi dan pengendara motor berjaket putih itu, saya memaknai hal kecil yang memberi dampak besar. Dan saya masuk sebagai bagian yang terkena dampak itu. Migrain? Ah, sudah tak terasa tuh.